Raut
Wajah
Pagi
hari di setiap sudut jalan ramai oleh hiruk pikuk kendaraan. Kesibukaan
orang-orang mulai tampak terlihat hilir mudik di seantero jalan. Anak-anak dari
segala usia, tampak bergegas menuju ke sekolahnya, siap menuntut dan menimba
ilmu pengetahuan. Dari anak-anak tersebut terlihat raut wajah yang penuh
semangat, tanpa terbebani oleh satu masalahpun.
Tapi,
hampir di setiap sudut perkotaan, ada
banyak raut wajah anak-anak yang terlihat gelisah, sedih, letih dan muram. Raut
wajah anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan dan merasakan indahnya
masa sekolah. Raut wajah letih yang harus hilir mudik di sela-sela antrian
kendaraan yang menunggu lampu hijau menyala. Raut wajah muram yang mengalahkan
peluh, kala harus mengais rezeki di antara remah-remah pembangunan. Atau, raut wajah
tabah yang penuh kepura-puraan saat harus tetap tertawa disaat nada gitar kecil
mengalun di teras-teras pertokoan.
Lain
sudut kota, lain pula sudut desa. Dimana terlihat raut wajah gembira bercampur
cemas saat akan pergi ke sekolah karena anak-anak tersebut harus menenpuh
perjalanan jauh dan sulit sebab mereka harus melalui jembatan yang nyaris putus
untuk bisa sampai ke sekolah. Tidak hanya itu, tampak raut wajah yang menahan
kantuk saat mereka harus mulai berjalan ke sekolah kala fajar pun belum
menyingsing. Raut wajah kusam yang menahan letih saat mereka harus membanting
tulang walau seragam belum sempat lepas dari tubuhnya. Atau raut wajah iri disaat
keringat mereka belum lagi kering mereka melihat teman sebayanya bernyanyi
riang turun dari mobil-mobil pribadi menuju sekolah.
Inilah
raut wajah anak-anak Indonesia! Apakah ini merupakan cerminan buruknya wajah
pendidikan di Indonesia? Padahal ini hanya segelintir raut wajah yang bisa kita
lihat di sekeliling kita. Bagaimana dengan raut wajah lain yang belum tentu
mendapat perhatian? Inilah wajah pendidikan yang memperlihatkan perbedaan yang
tergambar jelas di berbagai sudut negeri yang kita cintai ini? Pendidikan yang
seharusnya bisa menjadi seberkas harapan bagi hidup anak-anak Indonesia untuk
menggapai masa depan cerah, justru seperti barang mewah yang sangat mahal
sehingga tidak banyak orang yang dapat menggapainya. Hal inilah yang menunjukan
betapa dalamnya jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin dalam
memperoleh pendidikan di negeri ini.
Banyak
pejabat tinggi di negara ini yang menjanjikan peningkatan mutu pendidikan di
negeri ini terutama pejabat tinggi yang membidangi pendidikan, bahkan untuk
memantau penyaluran dan pengelolaan dana
pendidikan dari pemerintahpun sudah dan banyak dibentuk lembaga-lembaga
pemantau tapi faktanya anggaran pendidikan itu sendiri banyak yang
diselewengkan dan disalahgunakan justru oleh para pejabat pendidikan itu
sendiri. Bagaimana tidak, semua masyarakat tahu, gaji para pendidik (guru)
tidak seberapa apalagi guru-guru yang ada di daerah terpencil, tapi masih saja
banyak pejabat di Dinas Pendidikan yang tega “menyunat” gaji para guru tersebut
dengan alasan potongan-potongan yang tidak jelas. Pemerintah pusat “katanya”
memberikan dana insentif yang disebut “sertifikasi” sebagai bentuk penghargaan
atas jasa para guru, tapi ternyata pencairan dana sertifikasi itu sendiripun
banyak bermasalah bahkan dipersulit oleh oknum-oknum yang ada di Dinas
Pendidikan, sehingga mengalami keterlambatan pencairannya bahkan ada dana
sertifikasi tersebut yang tidak cair. Tidak hanya itu, dana bantuan dari
pemerintah yang “katanya” ditujukan bagi anak-anak tidak mampu dalam bentuk
beasiswapun dalam pencairannya banyak mengalami pemotongan sebab penyaluran
dana tersebut tidak transparan dan terlalu panjang birokrasinya. Masalah ini
tidak lepas dari permainan dan kerjasama Dinas Pendidikan yang ada di daerah
dengan pejabat daerahnya masing-masing.
Para
guru di kota yang sudah bergaji besar saja merasa penghasilan mereka belum
layak dengan tugas mereka, apalagi para guru yang ada di daerah terpencil,
bagaimana mereka bisa hidup berkecukupan jika untuk hidup layak mereka saja
sulit terpenuhi? Bagaimana mereka bisa bekerja maksimal untuk anak-anak
didiknya? Kalau dulu buku-buku bekas kakak bisa diteruskan ke adik-adiknya,
sekarang tidak, setiap kenaikan kelas, tiap daerah, buku yang digunakan tidak
sama, hal ini tentu saja menjadi halangan tersendiri bagi anak-anak dan para
orangtua yang tidak mampu. Bagaimana mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya
dengan benar jika sarana dan prasarana untuk pendidikan anak-anak mereka tidak
bisa terpenuhi? Padahal banyak kita ketahui, banyak anak-anak yang berasal dari
keluarga tidak mampu justru mempunyai banyak kelebihan dibandingkan anak-anak
dari keluarga yang mampu. Mau sampai kapan pemerintah menutup mata dengan
masalah ini, membiarkan ketidakadilan dan keserakahan pejabat-pejabat
menggerogoti uang rakyat, menyebarkan bau busuk “korupsi” yang sudah merugikan
semua pihak?
Wahai
para pejabat, bukalah mata hati anda, tanyakan pada hati nurani anda, tegakah
anda melihat anak-anak harapan bangsa yang ada di sekitar anda harus hidup
tidak layak? Tidak bisa mendapatkan pendidikan dengan baik? Belum cukupkah uang
yang anda dapatkan dan miliki saat ini? Saya yakin masih ada dari anda yang
masih punya hati nurani, yang masih ingin dan bisa membantu masyarakat kecil
untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Marilah kita memberikan contoh
yang benar pada masyarakat kita melalui perbuatan dan perkataan yang benar,
jujur, dan bisa dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar