Selasa, 07 Januari 2014

Cuap-Cuap Anak Negeri



Raut Wajah


Pagi hari di setiap sudut jalan ramai oleh hiruk pikuk kendaraan. Kesibukaan orang-orang mulai tampak terlihat hilir mudik di seantero jalan. Anak-anak dari segala usia, tampak bergegas menuju ke sekolahnya, siap menuntut dan menimba ilmu pengetahuan. Dari anak-anak tersebut terlihat raut wajah yang penuh semangat, tanpa terbebani oleh satu masalahpun.
Tapi, hampir di setiap  sudut perkotaan, ada banyak raut wajah anak-anak yang terlihat gelisah, sedih, letih dan muram. Raut wajah anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan dan merasakan indahnya masa sekolah. Raut wajah letih yang harus hilir mudik di sela-sela antrian kendaraan yang menunggu lampu hijau menyala. Raut wajah muram yang mengalahkan peluh, kala harus mengais rezeki di antara remah-remah pembangunan. Atau, raut wajah tabah yang penuh kepura-puraan saat harus tetap tertawa disaat nada gitar kecil mengalun di teras-teras pertokoan.
Lain sudut kota, lain pula sudut desa. Dimana terlihat raut wajah gembira bercampur cemas saat akan pergi ke sekolah karena anak-anak tersebut harus menenpuh perjalanan jauh dan sulit sebab mereka harus melalui jembatan yang nyaris putus untuk bisa sampai ke sekolah. Tidak hanya itu, tampak raut wajah yang menahan kantuk saat mereka harus mulai berjalan ke sekolah kala fajar pun belum menyingsing. Raut wajah kusam yang menahan letih saat mereka harus membanting tulang walau seragam belum sempat lepas dari tubuhnya. Atau raut wajah iri disaat keringat mereka belum lagi kering mereka melihat teman sebayanya bernyanyi riang turun dari mobil-mobil pribadi menuju sekolah.
Inilah raut wajah anak-anak Indonesia! Apakah ini merupakan cerminan buruknya wajah pendidikan di Indonesia? Padahal ini hanya segelintir raut wajah yang bisa kita lihat di sekeliling kita. Bagaimana dengan raut wajah lain yang belum tentu mendapat perhatian? Inilah wajah pendidikan yang memperlihatkan perbedaan yang tergambar jelas di berbagai sudut negeri yang kita cintai ini? Pendidikan yang seharusnya bisa menjadi seberkas harapan bagi hidup anak-anak Indonesia untuk menggapai masa depan cerah, justru seperti barang mewah yang sangat mahal sehingga tidak banyak orang yang dapat menggapainya. Hal inilah yang menunjukan betapa dalamnya jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin dalam memperoleh pendidikan di negeri ini.
Banyak pejabat tinggi di negara ini yang menjanjikan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini terutama pejabat tinggi yang membidangi pendidikan, bahkan untuk memantau  penyaluran dan pengelolaan dana pendidikan dari pemerintahpun sudah dan banyak dibentuk lembaga-lembaga pemantau tapi faktanya anggaran pendidikan itu sendiri banyak yang diselewengkan dan disalahgunakan justru oleh para pejabat pendidikan itu sendiri. Bagaimana tidak, semua masyarakat tahu, gaji para pendidik (guru) tidak seberapa apalagi guru-guru yang ada di daerah terpencil, tapi masih saja banyak pejabat di Dinas Pendidikan yang tega “menyunat” gaji para guru tersebut dengan alasan potongan-potongan yang tidak jelas. Pemerintah pusat “katanya” memberikan dana insentif yang disebut “sertifikasi” sebagai bentuk penghargaan atas jasa para guru, tapi ternyata pencairan dana sertifikasi itu sendiripun banyak bermasalah bahkan dipersulit oleh oknum-oknum yang ada di Dinas Pendidikan, sehingga mengalami keterlambatan pencairannya bahkan ada dana sertifikasi tersebut yang tidak cair. Tidak hanya itu, dana bantuan dari pemerintah yang “katanya” ditujukan bagi anak-anak tidak mampu dalam bentuk beasiswapun dalam pencairannya banyak mengalami pemotongan sebab penyaluran dana tersebut tidak transparan dan terlalu panjang birokrasinya. Masalah ini tidak lepas dari permainan dan kerjasama Dinas Pendidikan yang ada di daerah dengan pejabat daerahnya masing-masing.
Para guru di kota yang sudah bergaji besar saja merasa penghasilan mereka belum layak dengan tugas mereka, apalagi para guru yang ada di daerah terpencil, bagaimana mereka bisa hidup berkecukupan jika untuk hidup layak mereka saja sulit terpenuhi? Bagaimana mereka bisa bekerja maksimal untuk anak-anak didiknya? Kalau dulu buku-buku bekas kakak bisa diteruskan ke adik-adiknya, sekarang tidak, setiap kenaikan kelas, tiap daerah, buku yang digunakan tidak sama, hal ini tentu saja menjadi halangan tersendiri bagi anak-anak dan para orangtua yang tidak mampu. Bagaimana mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan benar jika sarana dan prasarana untuk pendidikan anak-anak mereka tidak bisa terpenuhi? Padahal banyak kita ketahui, banyak anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu justru mempunyai banyak kelebihan dibandingkan anak-anak dari keluarga yang mampu. Mau sampai kapan pemerintah menutup mata dengan masalah ini, membiarkan ketidakadilan dan keserakahan pejabat-pejabat menggerogoti uang rakyat, menyebarkan bau busuk “korupsi” yang sudah merugikan semua pihak?
Wahai para pejabat, bukalah mata hati anda, tanyakan pada hati nurani anda, tegakah anda melihat anak-anak harapan bangsa yang ada di sekitar anda harus hidup tidak layak? Tidak bisa mendapatkan pendidikan dengan baik? Belum cukupkah uang yang anda dapatkan dan miliki saat ini? Saya yakin masih ada dari anda yang masih punya hati nurani, yang masih ingin dan bisa membantu masyarakat kecil untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Marilah kita memberikan contoh yang benar pada masyarakat kita melalui perbuatan dan perkataan yang benar, jujur, dan bisa dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar